Rekam Jejak Kontemplasi Diri

Jalan Kaki Sendiri

Sore tadi, menuju jam 5 sore, terlihat anak pertama sedang asyik bermain di Masjid selepas ikut kelas belajar adzan bersama kakak-kakak santri. Mencari suami dan anak kedua, rupanya juga sedang asyik bercengkrama berdua di dalam rumah bapak mertua.

Jadilah yang tadinya niat mau minta ditemani jalan sore sekalian beli makanan untuk nanti malam, diurungkan seketika karena semuanya sedang punya kegiatan masing-masing yang sepertinya seru. Dan tiba-tiba, terbersit pikiran, “Gimana kalau jalan sendiri aja?”

Untuk sebagian besar orang, jalan-jalan sendirian apalagi hanya di sekitaran area tempat tinggal, itu hal yang biasa. Bagi saya pun sebetulnya sama. Sampai akhirnya saya melakoni langkah demi langkah jalan-jalan sore sendirian tadi.

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, entah kenapa ada suatu perasaan yang tidak biasa. Seperti rasa kangen, sekaligus rasa sepenuhnya hadir utuh di saat ini secara jiwa raga pikiran. Ah, sulit ternyata mendeskripsikan bentuk perasaan tadi itu.

Yang jelas, dalam setiap langkah yang diayun, menyusuri jalan perkampungan sampai ke gerbang depannya, kemudian menyeberang jalan, hingga tiba di warung tenda nasi goreng yang baru saja buka itu, saya benar-benar baru sadar bahwa ternyata sudah 6 menuju 7 tahun, saya tidak pernah jalan kaki sendirian. Bahkan sekedar jalan dari tempat tinggal ke sekitarannya aja, ini adalah jarak tempuh yang terjauh untuk jalan kaki sendirian.

Rupanya selama 6 menuju 7 tahun ke belakang, saya selalu (betul-betul tidak pernah tidak) pergi ditemani, entah oleh suami, atau oleh anak-anak. Sama sekali tidak pernah melangkah keluar rumah sendirian. Wow, masyaAllah. Pantas muncul perasaan sangat baru yang terpicu ‘hanya’ karena kaki melangkah sendirian.

Sepanjang jalan, saya terus mengakses perasaan itu, kemudian merekamnya sebisa saya. Bahwa diterpa perasaan seperti ini seru dan mengejutkan sekali. Rasanya aneh, menyenangkan, sekaligus mendorong untuk kontemplasi diri dalam sekali.

Tiba-tiba di sepanjang jalan, berkelabatan memori masa lalu terpanggil. Memori terkait jalan kaki sendirian.

Saya ternyata sejak baligh, saat mulai peduli pada bentuk tubuh, olahraganya adalah jalan kaki di taman-taman terbuka dekat rumah. Sendirian. Terbilang paling muda di track jalan taman-taman itu, karena memang jalannya di Taman Lansia (Lanjut Usia). Orang Bandung pasti tau dimana.

Terpanggil juga memori pulang kerja saat masih masa kuliah. Sudah gelap. Lewat maghrib. Dan lagi lagi, sering pulangnya memilih jalan kaki, sendirian.

Memori ke gym punya pemerintah kota melewati gang-gang sempit. Memori galau urusan hati sampai galau urusan ummat. Memori berantem sama orangtua. Sampai memori persiapan jelan nikah. Terpanggil semua. Dan semuanya terhubung oleh benang merah: jalan kaki sendirian.

Betapa ternyata, buat saya, jalan kaki sendirian adalah sarana healing yang ampuh, sejak dulu. Kaki yang melangkah dalam hening sepi dan sendiri, membuat diri hadir lebih utuh sehingga mudah untuk terhubung pada suara-suara hati kecil juga pada Allah.

Betapa banyak momen penting yang terekam bersamaan dengan langkah jalan kaki sendirian. Sedahsyat itu ternyata manfaat jalan kaki sendirian buat saya sejak lama.

Maka selain memori, perasaan unik tadi saya manfaatkan untuk kembali mengulang keterhubungan itu. Dan benar, semudah itu mengakses suara hati kecil dan Allah dengan seutuh-utuhnya saat berjalan kaki sendirian.

Tak terasa, dada mulai bergemuruh, hidung mulai perih, lalu disusul air mata yang menggenang semakin banyak di pelupuk. Menetes lah bulir-bulir itu, sebab di dalam hati dan pikiran mendadak riuh dengan evaluasi diri.

Sudah sampai mana?
Masih kah untuk-Nya?
Seberapa banyak khilaf salah?
Mau berkontribusi apa lagi?

Jangan diam di tempat!
Jangan merasa cukup dengan yang sudah lalu.
Urusan amal, harus begitu.
Selama masih ada sisa usia, jangan merasa cukup.

Ya Allah..

Mahal sekali perasaan ini ya Allah.

Menepi sesaat, saya pejamkan mata, hendak merekam semua pengalaman sore tadi yang durasinya paling hanya 20 menit saja, tentu semuanya sambil jalan kaki, ditambah menunggu pesanan makanan sekitar 25 menit.

Lama tak punya momen benar-benar sendirian sambil melakukan yang dulu sering dilakukan semasa belum menikah, begitu diberi kesempatan, benar-benar sesuatu rasanya. Sekaligus terbayang pula wajah suami dan anak-anak, khususnya kurang-kurangnya diri ini pada mereka.

Betapa tak terasa, sudah menuju 7 tahun tak pernah terpisah dari mereka sama sekali. Ditambah berita belakangan ini, memberi makna semakin dalam pada kesadaran bahwa nyatanya, setiap anggota keluarga tidak pernah saling memiliki, melainkan saling dititipi.

MasyaAllah.

Sayup terdengar suara awal adzan maghrib, saya bergegas memutar arah pulang ke tempat tinggal di area pondok pesantren. Kali ini, jalannya dipercepat. Dan dengan ritme lebih cepat, kontemplasinya jadi tidak sekhusyuk sebelumnya. Yang terpikir mulai realistis: mungkin suami dan anak-anak sudah mulai mencari saya. Ayo cepat pulang. Hehehe.

Alhamdulillah, terimakasih ya Rabb atas rizki jalan kaki sendiriannya. Saya merasa beruntung sekali hari ini sebab momen singkat sore tadi. Semoga lain kali, bisa jalan kaki sendirian lagi, sebentar saja.

Subang, 4 Juni 2022

Febrianti Almeera

Tinggalkan komentar