Lomba Blog

Memesona Itu: Mendudukkan Suami di Atas Singgasananya

“Dudukkanlah suamimu di atas singgasananya. Berikan kepercayaan dengan sepenuh cinta. Bahu membahu menghadapi naik turunnya roaller coaster kehidupan bersama-sama. Bantulah ia untuk berdaya di atas peran sejatinya sebagai pemimpin keluarga, dengan cara melayakkan diri sebagai istri yang penuh dukungan, bukan penuh tuntutan.” – Febrianti Almeera

Sejak kalimat sederhana dengan makna yang tidak sederhana itu ia ucapkan dalam momentum sakral akad nikah, kini.. tak terasa sudah 1 tahun 2 bulan usia rumah tangga yang Allah anugerahkan kepada kami. Suatu karunia sekaligus amanah yang indah, tapi juga ternyata tidaklah mudah.

Dalam perjalanan rumah tangga kami sejauh ini, salah satu pelajaran terbesar bagi saya sebagai seorang istri adalah: bagaimana menempatkan sang suami di atas singgasananya, sebagai seorang pemimpin, nahkoda mutlak penentu akan kemana arah bahtera kami berlayar.

Mudah? Hmm..

Bagi saya yang di masa single-nya terlatih mandiri, aktif di berbagai kegiatan, beberapa kali menempati posisi sebagai pemimpin di dalam organisasi, menjadi pengambil keputusan di dalam tim kerja, dan serangkaian pengalaman lain yang menempatkan saya pada posisi garda depan, tentu fase menjadi seorang istri yang sewajarnya dipimpin dan diarahkan JUSTRU menjadi sebuah tantangan tersendiri.

Hehehe, beberapa wanita gagah di masa single pasti paham perasaan semacam ini.

Namun seiring berjalannya waktu, fitrah menuntun setiap manusia untuk kembali pada posisi sejatinya. Termasuk yang terjadi kepada saya.

Perlahan, berbagai kejadian yang terjadi menyadarkan saya bahwa ternyata.. bagaimana pun kokoh dan tangguhnya saya, tetap tidak bisa sekokoh dan setangguh suami. Terbukti beberapa kali ujian hidup menghampiri, saya nyatanya jauh lebih mudah menyerah dan nyaris putus asa. Berbeda dengan suami yang bisa begitu tenang menyikapi segala kejadian. Bukan, bukan sebab cuek tak peduli, melainkan sebab ia yakin bahwa segala yang terjadi pastilah atas seizin-Nya, dan pasti membawa maksud baik di baliknya. Kita manusia, tinggal pandai-pandai bersikap saja. Sebab tidak ada satupun manusia yang gagal karena soal ujian yang terlalu sulit. Yang ada, manusia gagal karena keliru dalam memberikan jawaban. Saya tertampar oleh sikapnya yang demikian itu.

Pun sejernih-jernihnya pemahaman saya, tetap saja tidak bisa sejernih pemahaman suami. Tepat ketika emosi menghampiri, saya jauh lebih mudah kehilangan kontrol. Sehingga meski banyak tau pemahaman bijak, nyatanya saya seringkali lalai dalam proses pengamalan. Berbeda dengan suami. Saya tak jarang mendapatinya lebih memilih untuk diam jika ia sebenarnya masih tertatih dalam pengamalan. Sehingga apa-apa yang ia katakan hanyalah hal-hal yang sudah ia lakukan saja.

Maka adalah benar bahwa lelaki (arrijal) itu dilebihkan dari wanita (annisa). Dan perkara ini akan amat sangat terasa di dalam perjalanan bahtera rumah tangga yang satu sama lainnya sama-sama sadar posisi, siapa pemimpin, siapa yang dipimpin.

Berikut salah satu nasihat suami yang selalu mampu mengembalikan saya ke posisi fitrah sebagai yang dipimpin:

“Menjalani apapun dalam hidup, pegangannya hanya satu, yaitu: TAUHID. Nggak lebih dan nggak kurang. Bahasa sederhana dan populer sebagai implementasi dari tauhid adalah Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Dan salah satu bentuk sikap manusia yang teguh bertauhid adalah: NGGAK KAGETAN.

Nggak kaget ketika mendapat sesuatu yang di luar harapan. Entah itu ternyata realitanya di bawah atau pun di atas harapan. Karena sejatinya, semua sama-sama terjadi dengan maksud untuk MENGUJI pelakunya. Apa yang diuji? Yang diuji adalah reaksi kita.

  • Jika realita di bawah harapan, apakah kita otomatis jadi merasa terpuruk dan putus asa dari rahmat-Nya?
  • Sedangkan jika realita di atas harapan, apakah kita jadi menepuk dada, lantas merasa tinggi seakan semua hasil sendiri?

JLEB!

Jadi Neng.. untuk setiap apapun hal yang terjadi, berlatihlah untuk tepat mengambil reaksi. JANGAN KAGETAN. Tetap tenang. Dan sandarkan kembali semuanya kepada Allah.”

Salah satu nasihat suami ini lah yang membuktikan betapa saya masih lemah dan seringkali gagal dalam mengamalkan apa-apa yang telah saya ketahui. Sehingga saya merasa malu jika tanpa sadar masih berjalan bergagah-gagah tanpa mau dibimbing dan diarahkan oleh suami yang setiap perkataannya selalu didahului oleh perbuatan. Teruji, tervalidasi, di kehidupannya sehari-hari.

***

 

Di titik ini saya mengangkat kedua tangan pertanda menyerah. Saya tahu inilah saatnya saya melepaskan semua atribut penghormatan atas posisi-posisi garda depan yang pernah saya tempati di masa single dulu. Kini saya sudah menikah, sudah menjadi seorang istri, dan bahkan tak lama lagi akan menjadi seorang ibu.

Sudah saatnya saya memahami fitrah sebagai seorang perempuan, dengan mempercayakan singgasana kepemimpinan tertinggi dalam rumah tangga kepada sang suami terkasih. Rela diatur, ridho diarahkan, sebagai sebuah bentuk penghormatan sekaligus kepercayaan atas ia yang telah berani mengambil alih tanggung jawab atas diri saya, di dunia dan di akhirat kelak.

Terimakasih suami, atas ‘pendidikan’ yang kau berikan pada saya selama berrumah tangga ini. Hingga saya menyadari bahwa pesona sebagai seorang wanita usai menikah JUSTRU semakin terpancar ketika ia mengikuti fitrahnya. Maka bagi saya kini, #MemesonaItu adalah mendudukkan suami, di atas singgasananya. Singgasana kepemimpinannya.

 

Febrianti Almeera

 

2 tanggapan untuk “Memesona Itu: Mendudukkan Suami di Atas Singgasananya

Tinggalkan Balasan ke @nurulrahma Batalkan balasan