Uncategorized

Belum Pernah Kehilangan

Banyak orang mengaku pernah kehilangan, bahkan sering. Tidak lupa, perasaan kehilangan itu akan membawa teman-temannya yang lain seperti rasa sedih, rasa paling menderita, dan keyakinan bahwa hidup ini tidak adil. Tapi benarkah kita pernah kehilangan?

Based on my experiences. Tamparan untuk yang pernah atau sedang merasa kehilangan.

***

 

Sore beberapa minggu lalu, dompet saya hilang di jalan. Bukan dicopet, bukan dijambret, apalagi dirampok. Bukan.

Penyebabnya sederhana. Saya lupa meresleting tas ransel yang saya bawa naik motor. Skenario indahnya adalah jarang-jarang si dompet dimasukkan paling akhir ke tas, padahal biasanya ia diletakkan paling bawah. Siang itu memang rencananya saya mau kirim paket buku dan Al Qur’an. Jumlahnya cukup banyak, sehingga tas penuh, dan dompet harus diletakkan paling atas.

Pagi harinya sebelum itu, saya baru saja ambil uang di ATM untuk bayaran sekolah adik. Harusnya langsung dibayar, eh saya tunda dulu. Entah karena apa, yang pasti malas saja. Jadilah si uang sekolah yang jumlahnya cukup lumayan itu, bertengger dengan manis di dalam dompet, bertemankan kartu-kartu penting seperti KTP, SIM, Kartu Mahasiswa, NPWP, dan beberapa ATM.

Saya menyalakan motor. Brrrm brrrrmmm. Motor pun melaju dengan cukup kencang. Di perjalanan, beberapa motor menghampiri dan pengendaranya seperti mengatakan sesuatu. Saya kira hari itu banyak yang usil, jadilah saya abaikan. Takut takut modus penipuan. Eh nggak lama, ada pengendara yang sengaja melintang di depan motor saya, dan berhenti. Dia buka helmnya, dan bilang, “Mba.. tasnya kebuka itu mba. Dari tadi lho mba. Coba cek dulu.” Waduh!!

Malu bercampur was was. Malu karena salah sangka dan kegeeran, ternyata banyaknya pengendara yang saya kira usil itu justru sedang mengingatkan saya bahwa tasnya terbuka. Dan was was, jelas karena saya membawa paket kiriman yang diamanahi untuk dikirimkan. Soal dompet? Ah, lupa sama sekali. Akhirnya saya menepi untuk meresleting tasnya. Kondisi di dalam tas nggak keburu dicek, karena keburu malu. Saya melaju lagi. Kali ini dengan sedikit lebih tenang.

Sesampainya di tempat pengiriman barang, saya ambil nomor antrian. Masih tersisa nafas yang terengah-engah, saya menenangkan diri di kursi tunggu. “Nomor antrian 21.” Ini giliran saya. Petugas pengirimannya sudah berdiri, siap menyambut, “Mau kirim apa mbak?” Lalu saya jawab, “Paket buku dan Al Qur’an, mas. Jumlahnya 10 paket ke 10 alamat berbeda.” Petugasnya tersenyum, boleh saya liat paketnya?” Saya membuka resleting tas. Saya keluarkan paket bukunya. Satu, dua, tiga, empat. EMPAT!! Hanya empat!!

Deg deg deg deg deg. “Ya Allah, kemana 6 paket lagi? MasyaAllah.. pasti jatuh pas tasnya kebuka tadi.” Saya agak histeris. Bukan apa-apa, paket ini amanah. Saya terduduk tegang. Petugasnya memotong kebingungan saya, “Jadi mau dikirim mbak?” Langsung saya putuskan, “Iya mas.. tapi 4 paket dulu aja ya.”

Satu detik, dua detik.. saya menghirup dan menghembuskan nafas. Efektif untuk menstabilkan irama degup jantung.

“Sudah selesai mba. Total ongkos kirimnya empat puluh delapan ribu rupiah.” Tangan saya segera merogoh ke dalam tas mencari dompet. Eh eh, tapi tasnya kosong. Tidak ada satupun barang yang tersisa kecuali handphone. Inalillahi.. dompet kan paling atas. Saya baru sadar. Kalau 6 paket yang letaknya di bawah dompet saja hilang, pastilah dompetnya sudah lebih dulu terbang dengan tenang.

Saya terduduk untuk kedua kalinya. Mem-flashback segala runutan kejadian teledor yang telah saya lakukan. Petugasnya kembali memotong, “Totalnya empat puluh delapan ribu, mba.” Saya segera menjawab, “Mas, tolong paketnya disimpan dulu ya. Dompet saya hilang barusan. Titip dulu ya mas paketnya. Saya mau pulang dulu, ambil uang. Nggak lama kok mas, deket. Titip ya mas.” Petugasnya ikut kaget. “Oh iya iya mba. Saya taruh di counter ini ya. Kalau nanti sudah ganti shift, nanti saya yang bilang sama petugas berikutnya.”

Asli panik. Saya langsung ingat uang bayaran sekolah adik yang sengaja saya tunda pembayarannya hanya karena malas. Saat ini langsung tertampar karena ingat perintah Allah untuk bersegera dalam melaksanakan kebaikan, termasuk menuntaskan amanah dan tanggung jawab. Hiks.

Saya juga jadi teringat bahwa kejadian ini, bisa jadi.. merupakan bentuk pengabulan doa dari Allah.

Ya, beberapa hari sebelumnya, saya merasakan kejenuhan rutinitas yang teramat sangat. Kehidupan baik-baik saja, tapi flat, datar. Saya masih ingat persis, kala itu saya bertutur, “Ya Allah.. hidup kok rasanya datar banget nih ya Allah. Pengeeeen deh rasanya, agak ‘berwarna’ gitu.” Sebetulnya itu bukan doa, hanya sekedar ucapan keluhan iseng saja. Tapi taraaa!! Allah kabulkan.

Betul akhirnya hidup saya jadi benar-benar berwarna. Sangat berwarna, karena jadi harus mampir-mampir ke berbagai instansi (Kepolisian, Kelurahan, Kecamatan, University Center, Kantor Pajak, dan berbagai bank) untuk mengurusi pelaporan dan duplikasi kartu-kartu penting yang hilang. Betulan jadi sangat berwarna karena ketemu banyak orang, dihadapkan pada alur birokrasi yang seringnya bikin bingung. Luar biasa berwarna. Dikabulkan.

***

 

Masih dalam kondisi shock, saya tiba di rumah. Kala itu manusiawi.. saya ingin menangis.

Ketika saya masuk rumah, ternyata ada seorang sahabat sedang berkunjung, dan sudah menunggu sejak saya berangkat. Tanpa tegur sapa, saya langsung bocor. “Dompet aku hilang cobaaaa. Tadi di jalan waktu naik motor. Aku lupa ngeresleting tas, dompetnya jatuh. Hilang semuanyaaaa.” Heboh dan sedikit terisak karena mata mulai berair. Sahabat saya pun kaget. Tapi tak lama langsung berubah wajahnya jadi tersenyum.

“Apa yang hilang?”

“Dompet.”

“Apa yang hilang?”

“Dompet!!”

“Apa? Sekali lagi.”

“Dompeeeettt!!! Isinya ada kartu-kartu penting dan juga uang.”

Dia menjeda kalimatnya dan tersenyum semakin lebar.

“Feb, kita nggak akan pernah kehilangan apa-apa.”

Saya terdiam, belum paham.

“Kan semuanya milik Allah. Kita cuma dipinjamkan. Kalau segalanya milik Allah, boleh dong Allah ambil lagi. Caranya pun suka-suka Allah. Kok bisa-bisanya ngerasa kehilangan atas sesuatu yang bukan milik sendiri.”

JLEB JLEB JLEB!!!

***

 

MasyaAllah. Malu rasanya. Malu sudah sombong, merasa yang ada adalah milik diri. Padahal sejatinya diri ini terlahir tidak punya apa-apa. Segala kelengkapan yang diperoleh seiring perjalanan pun sejatinya hanyalah titipan. Ia melengkapi diri supaya diri semakin yakin bahwa hidup harus berguna, berdampak, dan bermanfaat.

Tak satupun pantas dikatakan milik diri. Bahkan raga yang melekat ini pun bukan. Lalu, bila raga yang jelas membersamai ini pun bukan milik diri, apalagi yang di luar diri.

Akhirnya saya tersadar bahwa sesungguhnya saya belum pernah kehilangan apa-apa, dan tidak akan pernah kehilangan apa-apa. Semuanya adalah milik Allah. Adapun bentuk kehilangan paling nyata adalah kehilangan iman, bukan dunia. Sebab iman adalah satu-satunya perekat antara diri dan Pencipta. Hilang iman, barulah hilang segala. Selainnya? Tidak ada kehilangan.

Bahkan hilangnya sesuatu yang teramat dicintai pun, jika itu di dunia, maka ia hanyalah sebuah pelajaran berharga bahwa memang tak ada satupun yang kita miliki, semua pasti kembali.

 “Saya, belum pernah kehilangan. Dan tidak akan pernah kehilangan.” – Febrianti Almeera

Satu tanggapan untuk “Belum Pernah Kehilangan

Tinggalkan komentar